CATATAN KECIL UNTUK SEORANG CALON DOKTOR

TANGGAPAN TERHADAP SEBUAH “TANGGAPAN”

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد ألا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله وصلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا

أما بعد:

Alhamdulillah telah sampai kepada saya tanggapan dari Al-Ustadz Firanda. MA -hadaanallahu wa iyyaahu- yang menanggapi sebagian permasalahan yang saya bahas pada beberapa tulisan saya yang termuat dalam situs http://www.salafybpp.com.

Pada tulisan ini, saya ingin memberi beberapa tanggapan ringkas dari tulisan Abu Abdil Muhsin Firanda yang berjudul “Tanggapan Terhadap Tulisan Seorang Ustadz -hafizohullah- “:

Pertama:

Hal yang perlu diketahui para pembaca yang budiman –semoga Allah menjaga kita semua dari kesesatan dan penyimpangan- bahwa perselisihan antara saya dengan Firanda.MA bukanlah perselisihan pribadi saya dengannya, sebagaimana diketahui bersama dari tulisan-tulisan saya yang menjelaskan tentang Ihya At-Turats dan dampak negatif dakwah mereka terhadap dakwah Ahlus sunnah diberbagai negeri, termasuk Indonesia. Sebab saya sendiri tidak mengenal Firanda,MA -waffaqanallah wa iyyaah-, apalagi bertemu muka dengannya. Awal kali saya mengenal ada seseorang yang bernama Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja tatkala salah seorang ikhwan menyodorkan kepada saya dalam sebuah buku yang isinya adalah pembelaan terhadap yayasan Ihya At-Turats yang berpusat di Kuwait. Sehingga saya pun merasa berkewajiban untuk mengeluarkan bantahan terhadap buku ini yang telah memberi “angin segar” kepada mereka yang memang selama ini menjalin kerjasama dengan yayasan ini. Yang mendorong saya untuk membantahnya adalah:

1) Sebagai bentuk “lepas diri” saya dari keberadaan saya yang dahulu berjalan bersama dengan mereka, sehingga saya cukup merasakan “manhaj nyeleneh” yang membuat saya tersadar setelah saya duduk belajar di Yaman dan mempelajari kembali apa yang selama ini saya dapatkan dari daurah-daurah yang diadakan oleh Ihya At-Turats, terkhusus selama saya mengikuti program “mulazamah”, yang dibimbing oleh beberapa pengajar, diantaranya Syarif Fuad Hazza’ . Sebagiannya telah saya jelaskan dalam buku bantahan saya “menjalin ukhuwwah”.

2) Menjalankan salah satu kewajiban “bayanul haq” yang tidak diperbolehkan bagi saya dan yang yang semisal saya yang mengetahuinya untuk diam dari penyimpangan dan kesesatan yang terjadi, meskipun hal ini merupakan sesuatu yang sangat berat bagi saya. Rasululah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ هَيْبَةُ الناس أَنْ يَقُولَ في حَقٍّ إذا رَآهُ أو شَهِدَهُ أو سَمِعَهُ

“Janganlah mencegah salah seorang kalian karena rasa segannya dari manusia untuk menyampaikan kebenaran jika dia melihatnya, menyaksikannya atau mendengarnya.”

(HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya)

Hadits ini diriwayatkan dari jalan Abu Nadhrah Al-Mundzir bin Malik Al-Abdi dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu. Disebutkan dalam sebagian riwayat tersebut bahwa Abu Sa’id menangis tatkala menyampaikan hadits ini dan berkata: “Demi Allah, kami melihat beberapa hal namun kami segan.” , dan berkata “alangkah iginnya aku jika aku tidak mendengarkan hadits ini.” Demikian pula Abu Nadhrah berkata: “Alangkah inginnya aku jika aku tidak mendengarkan hadits ini.”

Berkata Iyas bin Mu’awiyah Al-Bashri rahimahullah:

فَمَنْ يَنْطِق بِحُجَّتِي إِذَا سَكَتُّّ أَنَا ؟

“Siapa yang akan menyampaikan hujjahku jikalau aku diam?”.

(Tarikh Dimasyq:10/8)

Berkata Muhammad bin Bundar Al-Jurjani berkata:

aku berkata kepada Ahmad bin Hambal: sesungguhnya berat bagiku untuk mengatakan: si fulan dha’if (lemah), si fulan kadzdzab (pendusta). Imam Ahmad menjawab:

إذا سكت أنت وسكت أنا فمتى يعرف الجاهل الصحيح من السقيم؟

“Jika engkau diam dan aku juga diam, kapan orang yang jahil mengetahui yang shahih dari yang lemah?.”

(Al-Kifayah fi ilmir riwaayah, karya Al-Khatib Al-Baghdadi:46)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah Ta’ala:

ومثل أئمة البدع من أهل المقالات المخالفة للكتاب والسنة او العبادات المخالفة للكتاب والسنة فان بيان حالهم وتحذير الأمة منهم واجب باتفاق المسلمين حتى قيل لاحمد بن حنبل الرجل يصوم ويصلى ويعتكف أحب اليك أو يتكلم في أهل البدع فقال اذا قام وصلى واعتكف فانما هو لنفسه واذا تكلم في أهل البدع فانما هو للمسلمين هذا أفضل فبين أن نفع هذا عام للمسلمين في دينهم من جنس الجهاد (الفتاوى:28/231)

“Dan seperti tokoh- tokoh bid’ah dari para pembawa pemikiran yang menyelisihi al-kitab dan as-sunnah atau ibadah-ibadah yang menyelisihi al-kitab dan as-sunnah, maka sesungguhnya menjelaskan keadaan mereka dan memberi peringatan umat dari mereka adalah hal yang wajib berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahkan dikatakan kepada Ahmad bin Hambal: seseorang berpuasa, shalat, dan beri’tikaf lebih engkau sukai atau berbicara tentang ahli bid’ah?.Beliau menjawab: jika seseorang beribadah, shalat dan beri’tikaf, kemaslahatannya hanya untuk dirinya, dan jika dia berbicara tentang ahli bid’ah maka kemaslahatannya untuk kaum muslimin dan ini lebih afdhal”. Maka Beliau menjelaskan bahwa manfaat hal ini lebih bersifat umum untuk kaum muslimin dalam agama mereka yang merupakan bagian dari jihad.”

(Majmu’ Al-Fatawa:28/231)

Dari penjelasan ini, jangan sekali-kali ada yang menyangka bahwa saya memiliki permasalahan pribadi dengannya, yang menyebabkan terjadinya perselisihan.

Kedua:

Tuduhan “pendusta” terhadap seseorang dan menyebarkannya bukanlah merupakan bentuk mengumbar ‘aib dan melakukan ghibah yang diharamkan didalam islam, jika tuduhan tersebut memiliki bukti- bukti yang kongkrit, dan diucapkan oleh seorang yang tsiqah dan amanah. Namun ini merupakan bentuk “identifikasi” terhadap seseorang yang tidak pantas diambil ilmu dan riwayatnya jika dia termasuk perawi hadits. Berkata Imam Malik Rahimahullah Ta’ala:

لا يؤخذ العلم من أربعة ويؤخذ من سوى ذلك لا يوخذ من سفيه ولا يؤخذ من صاحب هوى يدعو الناس الى هواه ولا من كذاب يكذب في أحاديث الناس وان كان لا يتهم على أحاديث رسول الله ولا من شيخ له فضل وصلاح وعبادة اذا كان لا يعرف ما يحدث

“Tidak diambil ilmu dari empat macam manusia dan diambil dari selainnya: tidak diambil ilmu dari seorang yang dungu, dan tidak diambil dari pengikut hawa nafsu yang mengajak manusia kepada hawa nafsunya, dan tidak pula dari pendusta dalam ucapannya terhadap manusia meskipun dia tidak tertuduh berdusta terhadap hadits- hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, dan tidak pula dari seorang syaikh yang memiliki keutamaan, kesalehan dan ibadah, jika dia tidak mengetahui apa yang dia beritakan.”

(At-Tamhid, Ibnu Abdil Bar:1/66, Syarhus sunnah Al Baghawi: 1/318, Al-kifayah:116)

Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dari jalan Al-Hasan bin Ar-Rabi’, dia berkata: berkata Abdullah bin Mubarak: “Mu’alla bin Hilal dia, tatkala datang riwayat maka dia berdusta”. Sebagian kaum Sufi berkata kepadanya: Wahai Abu Abdirrahman, engkau mengghibah?. Beliau menjawab: “Diam kamu, jika kami tidak menjelaskan, kapan diketahui kebenaran dari kebatilan.”

(Al-Ma’rifah wat-tarikh:3/159, Al-kifayah:45)

Berkata Syu’bah rahimahullah:

“kemarilah kalian, mari kita berghibah sesaat karena Allah Azza wajalla”, yaitu berbicara tentang jarah dan ta’dil.

(Adh-Dhu’afa’,Al-Uqaili:11)

Isma’il bin Ibrahim yang dikenal dengan Ibnu ‘Ulayyah berkata tatkala berbicara tentang cercaan terhadap para perawi: “Ini merupakan amanah, ini bukan ghibah.”

(Syarah ‘Ilal Ibnu Rajab:1/349)

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata tatkala berbicara tentang al-jarah wat-ta’dil:

“ada sebagian orang yang tidak memiliki ilmu menyangka bahwa ini termasuk perkara ghibah. Padahal tidak demikian keadaannya, karena menyebutkan aib seseorang jika terdapat padanya kemaslahatan, meskipun secara khusus adalah diperbolehkan seperti mencerca persaksian seorang yang bersaksi dusta, hal ini diperbolehkan berdasarkan ijma’. Maka apa yang menjadi kemaslahatan umum bagi kaum muslimin lebih utama lagi.”

(Syarah ‘Ilal Ibnu Rajab:348)

Kalaulah menyebut seseorang sebagai pendusta dengan mendatangkan bukti-bukti dianggap sebagai ghibah yang diharamkan dan mengumbar aib, berarti begitu banyak para ulama al-jarah wat-ta’dil yang telah terjatuh kedalamnya, sebagaimana yang kita ketahui bersama dalam kitab- kitab al-jarah wat-ta’dil.

Ketiga:

Al-Akh Firanda – Hadanallahu wa iyyah- mengesankan kepada para pembaca bahwa seolah-olah dialah yang tertuduh dan terzalimi. Padahal bagi siapa yang merunut tulisan- tulisan bantahan antara Firanda dengan saya, dia akan melihat bahwa Firanda-lah yang terlebih dahulu melemparkan tuduhan keji kepada saya, kepada seorang ustadz, dan kepada para masyayikh.

Ya Akhi Firanda … :

Bukankah anda telah berdusta tatkala menuduh saya telah menyembunyikan fatwa Syaikh Ubaid?, mengapa anda tidak menjawab hal ini dalam tulisan anda? Pernahkan anda bertabayyun kepada saya? Seperti yang anda sebutkan dalam tulisan anda?. Silahkan lihat kembali tulisan Firanda yang berjudul “Salah kaprah”, bag:6. Tuduhan “menyembunyikan fatwa” merupakan tuduhan yang lebih keji dari sekedar tuduhan “kadzdzab (pendusta)”, sebab hal itu menunjukkan bahwa saya tidak mengambil fatwa ulama kecuali yang sejalan dengan hawa nafsu saya. Ini merupakan tuduhan yang sangat keji dan buruk, Allahul musta’an.

Bukankah anda telah berdusta dengan menuduh salah seorang ustadz menyembunyikan fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin dalam permasalahan jihad Ambon?, ketika saya bertanya tentang ustadz siapa dan fatwa yang mana?, anda tidak juga memberi jawaban. Sudahkan anda bertabayyun kepada ustadz tersebut? Padahal tabayyun menjadi sesuatu yang seringkali anda anjurkan, atau cara seperti inikah yang anda maksudkan sebagai sikap ilmiah?. Sehingga juga mengesankan bahwa ustadz penyembunyi fatwa tersebut telah mengikuti hawa nafsunya, dan tidak mengambil fatwa kecuali yang sejalan dengan hawa nafsunya. Wa ilallaahil musytakaa.

Bukankah anda telah berdusta tatkala menyampaikan kepada salah seorang ustadz yang juga pernah menjadi guru anda bahwa Syaikh Rabi’ diusir dari Madinah lalu pindah ke Makkah? Mengapa anda tidak menjawabnya?, sehingga mengesankan bahwa Syaikh Rabi’ tidak pantas diambil ilmunya, karena tidak termasuk ulama senior?

Bukankah anda yang telah menyebarkan dusta dan fitnah terhadap Syaikh Abdullah Al-Bukhari, bahwa Beliau menjelekkan Syaikh Abdurrazzaq dan yang lainnya? Yang ternyata setelah tabayyun kepada Beliau–seperti kaedah yang seringkali anda sarankan- ternyata Beliau mendustakan anda, dan Beliau menjelaskan bahwa memang benar Beliau menyebutkan bahwa Syaikh Abdurrazzaq ketika mudanya begini dan begitu, tapi itu bukan bermaksud merendahkan dan menjelekkannya. Kalau saya menyebutkan biografi Umar bin Khattab radhiallahu anhu dan kesalahan Beliau dimasa jahiliyah, itu bukan berarti menjelekkan Beliau kan?, bukankah ketika saya menjelaskan tentang biografi Fudhail bin ‘Iyyadh sebagai kepala perampok dimasa lalunya, bukan berarti saya menjelekkannya kan?, bahkan itu justru menunjukkan keutamaannya, seperti yang  Anda sendiri sebutkan. Bahkan Beliau menjelaskan kepada kami, bahwa bagaimana mungkin Beliau menjelekkan Syaikh Abdul Muhsin, dan Syaikh Abdurrazzaq, sementara mereka memiliki hak yang harus saya tunaikan: hak sebagai tetangga, karena mereka dahulu adalah tetangga Syaikh Abdullah Al-Bukhari. Juga hak Syaikh Abdul Muhsin sebagai teman baik ayah Beliau, dan haknya sebagai gurunya. Lalu mengapa anda kembali menuduh Syaikh Al-Bukhari? .

Maka jika teman- teman anda tidak mengetahui anda berdusta, maka yang mengetahui menjadi hujjah terhadap yang tidak mengetahuinya.

Keempat:

Bukan dari manhaj yang menjadi keyakinan saya membuka pintu dialog secara terbuka dengan siapa saja yang menyelisihi manhaj ahlus sunnah wal jama’ah, baik dia sufi, tablighi, ikhwani, syi’i, dan yang lainnya, selama bukan dalam kondisi terpaksa. Dengan beberapa alasan:

1: Hal itu akan memberi kesempatan kepada mereka untuk menyampaikan syubhat- syubhatnya, sementara hati-hati manusia itu sangat lemah, sementara syubhat sangat cepat menyambar, dan ini akan menjadi fitnah bagi kaum muslimin.

2: Kebanyakan dari perdebatan adalah kepandaian seseorang dalam bersilat lidah, siapa yang pandai bersilat lidah, maka dialah yang menang. Namun belum tentu pula yang menang dalam perdebatan, maka dia yang benar. Kalaulah menang dalam perdebatan menjadi standar ukur kebenaran, maka seseorang akan berpindah dari satu keyakinan menuju ke keyakinan yang lainnya. Telah diriwayatkan dari Ma’an bin ‘Isa bahwa Beliau berkata: suatu hari Malik bin Anas pulang dari masjid dalam keadaan dia bertelekan diatas tanganku, lalu dia diikuti oleh seseorang yang disebut: Abul Jairiyah, dia seseorang yang dituduh berpemahaman Murji’ah. Dia berkata: Wahai Abu Abdillah (maksudnya Imam Malik, pen), dengarkan dariku sesuatu, aku ingin berbicara dan berdialog denganmu, dan menyampaikan pendapatku. Imam Malik berkata: Jika Engkau mengalahkan aku (dalam berdebat)?, dia menjawab: jika aku mengalahkan kamu, kamu mengikuti aku. Kata Imam Malik: jika ada orang lain lalu kita berdialog dengannya dan dia mengalahkan kita? Dia menjawab: Kita mengikutinya. Maka Imam Malik berkata:

“Wahai hamba Allah, Allah Azza Wajalla mengutus Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dengan satu agama, dan saya melihat kamu berpindah dari satu keyakinan menuju keyakinan lainnya.”

(Al-Ibanah, Ibnu Baththah: 1/no:583, Asy-Syari’ah,karya Al-Ajurri: 1/117)

3 : Kalaulah Firanda benar- benar ingin mencari kebenaran dari permasalahan Ihya At-Turats ini, tentunya dia bisa mendatangi para ulama yang mereka mengetahui sepak terjang hizbiyah ini, dan pengaruh negatifnya di berbagai negeri, lalu membuka hatinya untuk menerima kebenaran apa yang mereka sampaikan. Bukankah dia menetap di negeri Ulama?. Oleh karenanya, ketika ada dua orang yang datang kepada saya beberapa tahun lalu meminta agar saya berdialog dengan Firanda, maka saya menjawab dengan jawaban yang kurang lebih yang saya sebutkan diatas. Lalu saya berkata: mengapa dia tidak mendatangi Syaikh Rabi’ di sana? Bukan untuk mendebati Syaikh, tapi untuk meminta penjelasan yang detil dan nasehat dari Beliau tentang bahayanya bermuamalah dengan Ihya At-Turats. Jika ternyata penjelasannya batil, maka silahkan dia membantahnya. Namun jika ternyata apa yang Beliau sampaikan itu haq, maka kebenaran itulah yang lebih patut untuk diikuti, bukannya berlindung dibalik slogan “ masalah khilafiyah ijtihadiyah” yang telah kami sebutkan bantahannya dalam buku “menjalin ukhuwwah”.

Kelima:

Tentang ajakan Firanda untuk mengangkat masalah ini kepada kibaarul ulama, maka saya dengan senang hati sangat setuju dengan hal ini. Namun sangat disayangkan dari ucapan Firanda:

“Tentunya kalau saya katakan kepada sang ustadz, “Bagaimana kalau diangkat ke syaikh Abdul Muhsin yang merupakan guru Syaikh Robii’?”, tentunya sang ustadz tidak bersedia.” Demikian persangkaan Firanda.

Saya berkata: Anda kembali melempar tuduhan dusta kepada saya sebelum anda bertabayyun langsung kepada saya. Maka saya katakan: saya persilahkan kepada Firanda untuk memilih ulama kibar versi Firanda yang mana yang dia inginkan, apakah Syaikh Abdurrazzaq atau Syaikh Abdul Muhsin, atau yang lainnya. Namun ada satu syarat yang harus diwujudkan agar hasil dari majelis tersebut benar-benar ilmiah: karena kita sedang membahas permasalahan Ihya At-Turats dan pengaruh bermuamalah dengannya, maka perlu dihadirkan dalam majelis tersebut minimal satu orang dari para ulama (meskipun bukan kibar menurut Firanda) yang mengetahui sepak terjang yayasan ini diberbagai negeri, agar pembahasan tersebut benar-benar sesuai dengan porsinya secara ilmiah dan kenyataan yang ada. Kalaulah Syaikh Al-Albani Rahimahullah masih hidup, maka saya rela menjadikan Beliau sebagai hakim. Kalaulah Syaikh Muqbil Rahimahullah masih hidup, saya rela dengan hukum Beliau, karena kedua ulama ini mengetahui keadaan yayasan ini. Namun karena keduanya telah meninggal, maka saya berikan pilihan kepada Firanda untuk memilih (tanpa merendahkan kedudukan para masyayikh lainnya yang juga menjelaskan tentang hakekat Ihya At-Turats dan pengaruh orang- orang yang bermuamalah dengan mereka):

Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkhali, itupun kalau Firanda menganggapnya sebagai alim, sebab Beliau pun baru saja menerima gelar doktor beberapa tahun lalu, mungkin berdekatan dengan gelar doktor yang diraih oleh DR. Ali Musri, dan jauh beda dibanding Syaikh Abdurrazzaq yang telah menerima gelar professor 15 tahun lalu.

Syaikh Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah, tapi saya juga belum tahu apakah Firanda menganggapnya sebagai ulama, meskipun bukan ulama besar.

Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah, dimana Syaikh Al-Albani menggelari Beliau sebagai “pembawa panji al-jarah wat-ta’dil” dizaman ini. Namun saya juga belum tahu apakah Beliau masih teranggap sebagai ulama dimata Firanda, meskipun bukan ulama kibar, sebab saya belum mengetahui Firanda menukil ucapan Beliau terkhusus dalam fitnah ini, namun mungkin juga disebabkan karena kurangnya saya membaca tulisan-tulisan ustadz Firanda.

Sebagai tambahan faedah saja, tatkala kami berkunjung beberapa tahun lalu ke rumah Syaikh Rabi’ Hafizhahullah Ta’ala, setelah kami duduk-duduk berbincang dengan Beliau. Tak lama kemudian datang seorang syaikh yang sudah sangat tua bersama dengan dua orang yang berkulit hitam. Lalu terjadi perbincangan antara syaikh tersebut dengan Syaikh Rabi’ dan kami mendengarkannya. Diantara yang disampaikan oleh Syaikh tersebut adalah pujian beliau kepada salah satu buku yang ditulis oleh Syaikh Rabi’, kemudian Syaikh tersebut menawarkan kepada Syaikh Rabi’ agar bersedia mengajar di masjidil haram, Makkah. Namun Syaikh Rabi’ meminta udzur untuk tidak bisa mengabulkan permintaan tersebut. Setelah Syaikh tersebut pulang bersama dua orang yang menyertainya, kamipun bertanya kepada salah seorang murid Syaikh Rabi’ yang hadir ketika itu tentang siapa syaikh tersebut, dan ia menjawab: Beliau adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Banna, rahimahullaahu rahmatan waasi’ah.

Semoga kisah ini bisa “mengangkat” kedudukan Syaikh Rabi’ disisi ustadz Firanda.MA sebagai ulama kibar. Jika tidak, berarti alangkah bodohnya saya yang tidak mampu membedakan mana ulama dan mana yang bukan ulama, sehingga butuh klarifikasi dari ustadz Firanda untuk membedakan ulama dari yang bukan ulama.

Maka saya persilahkan kepada Al-Ustadz Firanda untuk mengatur waktunya bersama para masyayikh tersebut, lalu disesuaikan dengan jadwal keberangkatan saya menuju kota suci tersebut. Bila sudah ada tanggal kapan dibuat majelis tersebut, tolong kabari saya segera sebelum hari keberangkatan, sehingga ada kesempatan untuk mengumpulkan berkas dan data- data yang yang berhubungan dengan masalah ini.

Semoga Allah Azza Wajalla senantiasa membimbing kita semua menuju jalan sunnah dan istiqamah diatasnya hingga bertemu dengan Pencipta Alam Semesta, Rabbul Alamin.

Ditulis oleh:

Abu Muawiyah Askari bin Jamal

10 Rabi’ul akhir 1432 H

Di Ma’had Ibnul Qayyim, Balikpapan, kalimantan Timur.

http://www.salafybpp.com/categoryblog/111-catatan-kecil-untuk-seorang-calon-doktor.html

Leave a comment